Kontroversi Pendidikan Profesi Guru

The power to change education—for better or worse—is and always has been in the hands of teachers
(Judith Lloyd Yero, 2003).

Begitu strategisnya posisi guru dalam pendidikan, maka tidak salah jika pemerintah memprioritaskan peningkatan mutu pendidik melalui Pendidikan Profesi Guru sebagai kunci peningkatan mutu pendidikan
nasional.
Melalui partisipasi guru, sadar atau tidak, guru secara individual memiliki kekuatan untuk membuat usaha pembaruan pendidikan yang berhasil atau sebaliknya, merusaknya.
Melalui situsnya, beberapa pekan terakhir, Direktorat Ketenagaan Ditjen Pendidikan Tinggi memublikasikan Rancangan Permendiknas Pendidikan Profesi Guru disertai Pedoman Pendidikan Profesi Guru Pra-jabatan, dan Naskah Akademiknya. Sebenarnya, sejak diedarkan terbatas Juni 2007, Rancangan Pendidikan Profesi Guru itu telah menuai kontroversi. Perbedaan pandangan mencuat tajam antara tim ad hoc dengan sejumlah tokoh dan pemerhati pendidikan guru dalam pertemuan yang digelar Ditjen Dikti di Hotel Jayakarta Jakarta, 30 Maret 2008. Namun, hingga draf rancangan yang dipublikasikan itu, nyaris tak ada perubahan berarti. Inti masalah terletak pada kecermatan akademik dalam Rancangan Pendidikan Profesi Guru yang secara konseptual tidak memadai, bahkan dikesankan banyak pihak, telaah akademiknya dikerjakan serampangan dengan pendekatan berpikir kira-kira. Pedoman pendidikan dan Rancangan Permendiknas-nya pun mengidap cacat bawaan dari naskah akademik. Jika rancangan ini terus menggelinding menjadi ketetapan Permendiknas, dikhawatirkan akan melengkapi pengalaman pahit Presiden Yudhoyono setelah ”Super Toys” dan ”Banyu Geni”. Selain itu, grand design Pendidikan Profesional Guru dalam rangka Sertifikasi Guru menjadi makin tidak jelas juntrungnya. Kekacauan konsep Ada frase yang dikacaukan satu sama lain kemudian mengundang kontroversi, yaitu ”Pendidikan Profesional Guru”, ”Pendidikan Guru Konsekutif”, ”Pendidikan Guru Terintegrasi (Concurrent)”, ”Pendidikan Akademik Guru”, dan ”Pendidikan Profesi Guru”. Dalam praktik pendidikan guru di Tanah Air dikenal Pendidikan Guru Konsekutif (untuk PGSM) dan Pendidikan Guru Terintegrasi (khusus untuk PGSD). Pendidikan Guru Konsekutif dimulai dengan penguasaan disiplin ilmu tertentu sesuai mata pelajaran di sekolah menengah, lalu ditambah (plug-in) penguasaan kemampuan ilmu kependidikan. Jenis pelaksanaannya, Pendidikan Guru Konsekutif dilakukan dalam jalur kependidikan maupun jalur
nonkependidikan yang kemudian menambah paket kependidikan. Sedangkan Pendidikan Guru
Terintegrasi sejak awal pendidikan, penguasaan disiplin ilmu yang diajarkan di SD dan penguasaan pedagogisnya dilakukan secara terintegrasi. Pada program S-1, keduanya berujung diperolehnya ijazah (akademik) sarjana pendidikan (SPd) sehingga disebut ”Pendidikan Akademik Guru”. Keberadaan Pendidikan Profesi Guru menjadi tuntutan setelah UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mensyaratkan guru profesional harus memiliki sertifikat pendidik. Lazimnya seperti dilakukan pada
bidang kedokteran, akuntan, atau lawyer, Pendidikan Profesi Guru dilakukan secara internship setelah melalui pendidikan akademik. Pendidikan profesi berisi kegiatan praktik ”mencemplungkan diri” menerapkan kemampuan akademik dalam kegiatan profesi guru di sekolah disertai mekanisme penyeliaan yang sistematis dan dalam waktu memadai. Maka, Pendidikan Profesi Guru harus mensyaratkan peserta penyandang SPd, baik yang berasal dari jalur Pendidikan Konsekutif maupun Pendidikan Guru Terintegrasi. Pendidikan akademik dilakukan dalam basis kampus, berujung diperolehnya ijazah sarjana. Sedangkan pendidikan profesi dilakukan secara internship di sekolah, berujung didapatnya sertifikat. Semua proses pendidikan guru, mulai dari pendidikan akademik hingga diteruskan ke pendidikan profesi guru disebut
”Pendidikan Profesional Guru”. Kekacauan konsep dalam Rancangan Permendiknas bermula dari Naskah Akademik dan Pedoman Pendidikan Profesi Guru versi Ditjen Dikti karena tidak mampu membedakan ”Pendidikan Guru Konsekutif” yang akademik dengan ”Pendidikan Profesi Guru” yang internship. Pasal 10 Struktur Kurikulum yang terdiri mata kuliah akademik dan pendidikan bidang studi ditambah Praktik Pengalaman Lapangan, dan Pasal 11 tentang Beban Belajar dengan rentang 18-40 >small 2small 0<, jelas menunjukkan, yang dimaksud ”Pendidikan Profesi Guru” dalam RancanganPermendiknas ini tidak lain adalah ”Pendidikan Guru Konsekutif” yang bercirikan pendidikan akademik,nyaris tak beda atau reinkarnasi program Akta bagi S-1 nonkependidikan yang dikenal selama ini.Ini berarti bagi peserta S-1 dan D-IV (jika ada) kependidikan akan mengulang ”cerita” pendidikanakademiknya dan bagi peserta S-1 dan D-IV nonkependidikan selayaknya menempuh ”Pendidikan GuruKonsekutif” guna mendapatkan ”Pendidikan Akademik Guru”. Singkat kata, ”Pendidikan Profesi Guru”yang bercirikan kegiatan internship yang dimaksud sebenarnya belum berhasil dirumuskan.Reformasi LPTKPasal 3 Rancangan Permendiknas menyebutkan, program Pendidikan Profesi Guru diselenggarakanLPTK yang terakreditasi dan ditetapkan pemerintah. Pengalaman praktis LPTK sebatasmenyelenggarakan pendidikan guru konsekutif dan konkuren melalui aneka jenis paket kependidikan,dan menghasilkan sarjana pendidikan (akademis) yang ditandai perolehan ijazah dan gelar SPd.Pendidikan Profesi Guru melalui internship di sekolah minimal satu tahun itu pasti bukan format praktikpengalaman lapangan (PPL) yang selama ini dikenal di LPTK, yang masih dalam ranah pendidikanakademik guru. Dengan kerangka pikir baru, Pendidikan Profesional Guru dilakukan berjenjang daripendidikan sarjana akademik di LPTK lalu pendidikan profesi setelah sarjana, maka reformasi kurikulumLPTK secara menyeluruh dan pengembangan Pendidikan Profesi Guru menjadi keniscayaan dalampengembangan Pendidikan Profesional Guru.Sejalan dengan itu, LPTK perlu mengembangkan program operasional internship Pendidikan ProfesiGuru yang belum pernah ada, dengan penyeliaan yang sistematis berbasis sekolah laboratorium atausekolah mitra.Memerhatikan dampak yang luas dalam sistem pendidikan di Tanah Air, formulasi pendidikan profesionalguru tak boleh dilakukan grusa-grusu, ”kejar tayang”, hanya untuk memenuhi target proyek. Dalam halini, kita perlu lebih arif karena kini saatnya menata Pendidikan Profesional Guru secara cermat dansungguh-sungguh untuk menuai generasi guru baru yang ”perkasa” mengubah mutu pendidikan,mengubah menjadi lebih baik, dan bukan merusaknya.

oleh Waras Kamdi Ketua Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Pembelajaran Universitas Negeri Malang;Anggota Kelompok Peduli Pendidikan Guru

sumber: download di http://els.bappenas.go.id/upload/kliping/kontroversi%20pendidikan.pdf

2 komentar

  1. semua itu kembali lagi ke niat individu masing-masing.
    GURU itu untuk APA???
    *hanya sebagai perantara profesi yang menghasilkan uangkah?
    *apakah sebelumnya "NYASAR" masuk ke dalam dunia pendidikan hingga dapat menjadi guru dengan nomor CPNS yang sudah dipesan?
    atau...
    *penyalur ilmu bagi saudara-saudara kita yang membutuhkannya...

    mengubah guru menjadi lebih baik???
    sepertinya hal ini terlalu muluk, karena sistem dari atas saja sudah salah, bagaimana guru bisa mengikutinya???????
    Indonesia memang ANEH.

    BalasHapus
  2. saya setuju dengan sahabat putri, hmm bener2 pemerharti lingkungan, eits salah pemerhati pendidikan..

    BalasHapus

silahkan berkomentar dengan bijak, sopan, dan santun. termiakasih telah mampir dan membaca blog kami.
EmoticonEmoticon